Dunia Seram - Mentari nyaris berada di atas ubun-ubun, saat empat mobil menepi di pinggiran Jalan Raya Soreang-Cipatik, medio Februari 2011. Siang itu, Kampung Badaraksa yang terletak di lereng bukit, kedatangan tamu.
Rombongan itu menyusuri jalan kecil mendaki di tengah pemukiman
penduduk, hendak menuju ke atas puncak Gunung Lalakon, yang terletak di
Desa Jelegong, Kecamatan Kotawaringin, Kabupaten Bandung.
Dari Kampung Badaraksa yang berada di ketinggian sekitar 720 m di atas
permukaan laut, mereka bergegas naik memutari bukit dari bagian selatan
ke barat.
Sambil
membawa berbagai peralatan dan beberapa gulungan besar kabel, rombongan
membelah hutan gunung. Derap langkah kaki mereka seolah berkejaran
dengan ritme suara jengkerik, dan tonggeret di kanan-kiri.
Tim yang terdiri dari sekelompok pemuda dan para peneliti itu, akhirnya sampai di puncak setinggi 988 meter dari permukaan laut.
Kabel direntang. Tim mulai memasang alat geolistrik yang mereka bawa.
Sebanyak 56 sensor yang dipasangi altimeter (alat pengukur ketinggian)
diuntai dari puncak bukit ke bawah lereng, masing-masing berjarak lima
meter, dicatu oleh dua aki listrik.
Alat-alat itu berfungsi mendeteksi tingkat resistivitas batuan, dan bisa
digunakan menganalisa struktur kepadatan batuan hingga ratusan meter ke
bawah. “Tujuan kami saat itu mengetahui apakah ada bangunan
tersembunyi di dalam gunung,” kata Agung Bimo Sutedjo, kepada VIVAnews, di Jakarta, Selasa, 15 Februari 2011.
***
Agung adalah Pendiri Yayasan Turangga Seta, organisasi yang punya hajat penelitian di gunung itu. Bak tokoh fiksi Indiana Jones,
awak Turangga Seta memang punya kegemaran memburu jejak sejarah. Bukan
atas hasrat memiliki, tapi mengungkap kegemilangan sejarah nenek moyang
di masa lalu.
Komunitas itu berdiri sekitar 2004, digawangi oleh sekelompok
profesional di berbagai bidang. Ada pengajar, kontraktor bangunan,
pegawai negeri sipil, karyawan perusahaan swasta, juga mahasiswa.
Beberapa di antara mereka punya kepekaan lebih terhadap kehadiran gaib,
atau istilah keren mereka:parallel existence.
“Kami ini semua anak-anak MIT. Bukan Masachussetts Institute of Technology,
tapi Menyan Institute of Technology,” kata anggota Turangga Seta Hery
Trikoyo, bergurau. Sebab, dalam melakukan perburuan terhadap situs
sejarah, kadang mereka mendapat sokongan informasi lokasi dari ‘informan
tak kasatmata’.
Namun, karena dasarnya mereka adalah anak-anak yang mengenyam pendidikan
tinggi, dorongan mereka membuktikan informasi tersebut, mengalir deras.
Tak jarang para ‘arkeolog partikelir’ ini keluar malam-malam usai jam
kerja, untuk menggali sebuah tempat demi membuktikan kebenaran hipotesa
mereka.
Setelah mereka menemukan benda sejarah yang mereka maksud, lalu mereka
menimbunnya kembali, tanpa diketahui oleh masyarakat umum. “Kami
khawatir bila diketahui banyak orang, malah diambil atau dicuri,” kata
Agung.
Kali ini, kedatangan mereka ke Gunung Lalakon dalam rangka membuktikan teori mereka, bahwa ada sejumlah piramid di Indonesia. Salah satu informasi awal didapatkan dari tafsiran mereka terhadap relief Candi Penataran.
Turangga Seta percaya bahwa kebudayaan Nusantara lebih tua daripada
Kebudayaan Sumeria, Mesir, atau Maya. Mereka haqul yakin Indonesia
memiliki situs candi atau piramida yang lebih banyak dan lebih megah
dari peradaban Mesir dan Maya.
“Ada ratusan piramida di Indonesia, dan tingginya tak kalah dari
piramida Giza di Mesir yang cuma 140-an meter,” kata Agung. Meski masih
harus diuji secara ilmiah, pandangan Agung senada dengan teori Profesor
Arysio Santos, yang menyebutkan Indonesia adalah peradaban Atlantis yang hilang. (Baca juga: Nusantara Memendam Atlantis?)
Keyakinan ini tentu saja membuat banyak orang mengernyitkan dahi. Turangga Seta sempat mem-postkeyakinan mereka ihwal keberadaan piramida di Indonesia di sebuah forum online.
lengkap dengan foto-fotonya. Hasilnya, mereka menuai cemoohan dan
tertawaan. “Nanti, kalau semuanya terbukti, mereka tak bisa lagi
tertawa,” kata Agung berapi-api.
***
Agung mungkin sedang sesumbar. Tapi, bisa juga tidak. Usai pengujian
geolistrik di Gunung Lalakon, para peneliti yang datang bersama Agung
cs. terbengong-bengong. Mereka bukan sembarang peneliti. Mereka adalah
peneliti papan atas. Beberapa adalah pakar geolog ternama, yang
kredibilitasnya tak diragukan. Tapi karena datang atas nama pribadi,
kehadiran mereka di sana tak mau diungkap.
Setidaknya, kekaguman mereka sempat diabadikan dalam sebuah rekaman video milik tim Turangga Seta yang disaksikan VIVAnews. “Selama ini saya tidak pernah menemukan struktur subsurface seperti ini. Iniunnatural (tidak alamiah - red),” kata pakar geologi yang wajahnya sering terlihat di berbagai stasiun TV itu.
Lazimnya, sebuah lapisan tanah atau lapisan batuan akan menyebar merata
secara menyamping atau horisontal. Tapi hasil uji geolistrik menyatakan
terdapat semacam struktur bangunan yang memiliki bentuk seperti
piramida, dan di atasnya terdapat lapisan batuan tufa dan breksi dengan
pola selang-seling secara bergantian.
Pola batuan tufa dan breksi ini berulang secara melintang bukan
mendatar, dengan kemiringan sama. “Seolah-olah piramida ini diuruk dan
dibronjong secara sengaja, agar tak longsor,” kata Hery, yang berprofesi
sebagai konsultan kontraktor bangunan.
Dalam lanjutan rekaman video berikutnya, pakar geologi tadi menunjuk
sebuah bentukan berwarna biru. Dalam hasil uji geolistrik, warna biru
menandakan sebuah tempat yang punya resistivitas paling rendah. “Ini
mungkin semacam rongga yang bisa berisi air atau tanah lempung,” pakar
geologi itu menerangkan. Bentukan tadi menyerupai semacam pintu.
Yang jelas, pakar geologi itu melanjutkan, kemungkinan besar temuan itu
adalah struktur buatan manusia, karena proses alamiah sepertinya tak
mungkin menghasilkan pola batuan semacam itu. “Ini jelas man-made,” kata dia.
VIVAnews sempat mengkonfirmasi salah satu pakar geologi yang
turut dalam penelitian ke Gunung Lalakon bersama tim Turangga Seta.
Awalnya ia menampik, dan mengatakan tak tahu-menahu keberadaan struktur
bangunan mirip piramida di bawah Gunung Lalakon. Tapi belakangan secara
tersirat ia mengakui hal itu.
“Saya no comment,” kata geolog kawakan Andang Bachtiar kepada VIVAnews,
Rabu, 23 Februari 2011. Lebih jauh, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi
Indonesia (IAGI) itu mengatakan hasil analisis itu masih belum bisa
menyimpulkan apa-apa. Masih banyak hal yang perlu dibuktikan, kata
Andang.
Tapi Andang kemudian mengaku, selain ke Gunung Lalakon di Bandung, juga
ia mendampingi tim Turangga Seta menguji bukit serupa di daerah
Sukahurip, Pengatikan, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Menurut Agung, timnya sudah melakukan pengujian geolistrik dan uji
seismik di 18 titik di beberapa tempat di Indonesia. Di Bandung dan di
Garut, mereka mendapat hasil kurang lebih sama. Semua serupa: indikasi
adanya sebuah struktur bangunan yang mirip piramida di bawah bukit.
Bedanya, di bukit-piramida di Garut tak dijumpai adanya rongga seperti
pintu, seperti halnya di Bandung. “Mungkin karena kami hanya mengujinya
di salah satu bagian lereng bukit saja,” kata Hery Trikoyo. Sayang, Turangga Seta masih menutup rapat hasil uji mereka di tempat lainnya.
***
Turangga Seta mengklaim masih ada ratusan piramida lain yang tersebar di
seluruh Indonesia. Salah satu pentolan Turangga Seta lainnya, Timmy
Hartadi, dalam laman Facebook mereka mengatakan bahwa piramida-piramida itu tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. (Lihat Infografik)
Klaim penemuan sebuah piramida tersembunyi di dalam bukit, tak hanya
terjadi di Indonesia. Klaim ini juga sempat muncul di Bosnia. Pada 2006,
seorang pengarang bernama Semir Osmanagic mengklaim penemuan ini, dan
sempat mengatakan mereka menemukan piramida tersembunyi di bukit
Visocica, kota Visoko, yang terletak di barat laut Sarajevo.
Osmanagic mengatakan penggalian piramida itu melibatkan arkeolog dari
Australia, Austria, Irlandia, Skotlandia dan Slovenia. Namun, beberapa
arkeolog yang disebut Osmanagic menolak klaim tersebut.
Seperti dikutip dari situs Archaeology.org, arkeolog dari
Kanada yang disebut Osmanagic, Chris Mundigler mengaku tak pernah
mendukung atau setuju bekerja di proyek tersebut. "Skema ini adalah
sebuah kebohongan keji terhadap masyarakat awam, dan tak akan pernah
mendapat tempat di dunia ilmu pengetahuan," kata pernyataan resmi dari
Asosiasi Arkeolog Eropa.
Bagaimana dengan klaim piramid di Bandung dan di Garut?
Secara
geomorfologis, bentuk Gunung Lalakon di Bandung maupun Gunung Sadahurip
di Garut memang memiliki bentuk yang mirip dengan piramida. Mereka
memiliki empat sisi yang nyaris simetris.
“Bentuknya kok begitu simetris ya? Lancipnya sangat simetris,” ujar arkeolog senior Profesor Edi Sedyawati, saat dijumpai VIVAnews di kediamannya di Jakarta, Rabu, 23 Februari 2011.
Namun, kata Edi, klaim dan hasil uji geolistrik masih belum cukup untuk
mendapatkan kesimpulan akhir. Langkah selanjutnya adalah penggalian
percobaan pengambilan sampel dengan memuat sebuah test bed untuk mengetahui apa benar ada indikasi lapisan-lapisan budaya dan ada bekas-bekas perbuatan manusia atau tidak.
“Tapi ini harus betul-betul penggalian arkeologi yang meminta izin
kantor suaka purbakala dan melibatkan arkeolog, karena harus ada
pertanggung jawaban dan laporan, dari mili ke mili (milimeter, red),"
kata Edi Sedyawati.
Turangga Seta pun tengah mengusahakan izin pengambilan sampel tanah di
Gunung Lalakon kepada Pemda Jawa Barat. “Kami hanya perlu menggali tanah
di lokasi, selebar sekitar 3-4 meter dengan kedalaman sekitar 3 meter,”
kata Agung.
***
Gunung
Lalakon dikelilingi beberapa bukit lain seperti bukit Paseban, Pancir,
Paninjoan, Pasir Malang. Di bukit Paseban ada tiga buah batu, yang dua
di antaranya terdapat telapak kaki manusia dewasa, dan telapak kaki
anak-anak.
Menurut Edi, bila benar batu telapak itu peninggalan sejarah,
kemungkinan ini berasal dari zaman megalitikum. Batu telapak juga sudah
dijumpai di tempat lain, seperti prasasti Ciaruteun, peninggalan Raja
Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara. “Cap telapak kaki biasanya
diabadikan sebagai monumen mengenang pemimpin suatu daerah,” kata Edi.
Cap kaki juga erat kaitannya dengan konsep Triwikrama atau tiga langkah
yang berkembang di masa itu. Saat itu, mereka percaya bila seseorang
hendak naik ke dunia dewa-dewa, mereka harus menjejak dengan keras agar
dapat melompat tinggi sekali.
Sementara itu, di Gunung Lalakon juga terdapat beberapa situs batuan,
seperti Batu Lawang, Batu Pabiasan, Batu Warung, Batu Pupuk, Batu
Renges, Batu gajah, dan sebuah batu panjang yang terletak di atas
puncak.
Menurut Abah Acu, tokoh masyarakat Kampung Badaraksa, secara filosofis,
Gunung Lalakon adalah perlambang sebuah lakon dari kehidupan manusia.
Batu-batu tadi merepresentasikan berbagai lakon atau profesi yang
dipilih oleh manusia.
Namun, keberadaan batu-batu tadi kerap disalahgunakan. Banyak orang
datang ke tempat batu di Gunung Lalakon mencari pesugihan. Bahkan,
menurut Jujun, tokoh agama Islam di tempat itu, dulu banyak orang datang
ke Batu Gajah mencari ilham judi buntut. “Banyak pula yang berhasil
menang,” kata Jujun.
Jujun menerangkan, di Gunung Lalakon secara rutin juga digelar acara
ritual tolak bala, yakni dengan membuat nasi tumpeng kemudian dibagikan
dan dimakan oleh penduduk. “Acara ini diadakan setiap tahun, biasanya
setiap tanggal 1 Syuro.”
Berbeda dengan tradisi di Gunung Lalakon, masyarakat di sekitar Gunung
Sadahurip relatif lebih ‘modern’. Menurut Nanang, warga Kampung Cicapar
Pasir, kampung terdekat Gunung Sadahurip, di sana tak ada tradisi tolak
bala. Masyarakat sekitar juga tak terlalu peduli dengan mitos gunung itu
di masa lalu.
***
Pakar sejarah dari Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Nina Herlina
Lubis, mengatakan di Tatar Sunda yang meliputi Jawa Barat, Banten, DKI,
dan sebagian Provinsi Jawa Tengah, terutama dataran tinggi seperti
Banten Selatan, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Garut, Kuningan, dan Bogor,
banyak ditemukan peninggalan budaya megalitikum. Tinggalan-tinggalan itu
di antaranya berupa batu menhir, bangunan berundak, batu lumpang, peti
kubur batu, batu dakon, dan arca megalitik.
Namun, Nina menjelaskan, sejarah di Tatar Sunda tak mengenal bangunan
piramida karena tak ada kebiasaan di Tatar Sunda membuat bangunan
piramida dengan ketinggian hampir ratusan meter sebagai tempat suci.
“Tempat suci di Tatar Sunda ini seringkali disebut multi-component sites atau situs berkelanjutan,” kata Nina melalui surat elektronik kepada VIVAnews.
Bila pada masa prasejarah tempat suci itu dikenal sebagai punden
berundak-undak, tempat pemujaan leluhur, maka ketika budaya Hindu Budha
(yang hidup pada masa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda), tempat
suci itu terus dipergunakan.
Hanya saja menhir dijadikan sebagai lingga, lalu bangunan berundak
itupun diwujudkan dengan gunung yang di atasnya dibangun lingga. Saat
Kerajaan Sunda runtuh, maka lingga pun diganti dengan nisan bagi makam
tokoh yang dianggap keramat.
Saat diberitahu di bukit-piramida Bandung maupun Garut ada makam yang
dikeramatkan, serta adanya keluarga keturunan Syekh Abdul Muhyi,
penyebar agama Islam di kawasan Priangan Timur, yang hidup dua abad
setelah Kerajaan Sunda runtuh, Nina berusaha membuat konklusi dan
analisa.
“Saya menduga bahwa bukit berbentuk piramida ini, adalah mandala (daerah
pertapaan berupa dusun mandiri yang terletak di tempat terpencil), yang
sudah tercampur dengan budaya yang datang kemudian (yaitu
Hindu-Budha-Islam),” ujar Nina.
Namun untuk mengungkap apa sesungguhnya yang tersembunyi di balik bukit
berbentuk piramid itu, kata Nina, para geolog harus bekerjasama dengan
para arkeolog untuk melakukan ekskavasi (penyingkapan).
***
Cerita soal penemuan bukit berstruktur piramida ini rupanya telah sampai
pula ke Istana Presiden. Seorang pejabat di lingkaran presiden, kepada VIVAnews mengaku
telah dilaporkan ihwal riset itu. Untuk keterangan soal ini, dia minta
tak disebutkan namanya, menimbang riset yang belum rampung.
“Ya, saya sudah lihat analisis geolistrik dan georadar-nya. Saya
menyaksikannya dalam bentuk tiga dimensi. Menakjubkan, dan masih
misterius. Tim riset itu dipimpin oleh para geolog terpercaya,” ujar si
pejabat itu lagi, Rabu pekan lalu.
Tapi, pejabat itu tak mau menjelaskan detil penemuan. Sang geolog,
ujarnya, belum mau diungkapkan ke publik. “Masih didalami oleh tim riset
mereka, tetapi dari hasil yang ada, memang mencengangkan,” ujarnya.
Dia melukiskan, dari hasil geolisitrik tampak struktur berbentuk
piramida di dalam bukit itu. Ada undak-undakan, mirip tangga menuju
puncak piramida. Di bagian dasar, ada semacam pintu, dan tampak juga
sesuatu yang mirip lorong di dalamnya.
Dia menambahkan, para ahli itu percaya ada semacam struktur geologis tak
biasa di dalam gunung menyerupai piramida itu. Para ahli geologi itu,
kata si pejabat istana, mempertaruhkan kredibilitas keilmuan mereka.
“Kita tunggu saja. Kalau riset dan pembuktian ilmiah sudah lengkap,
pasti akan dibuka ke masyarakat”.
Mungkin inilah masa penantian yang cukup menegangkan. Adakah bukit piramida ini sekadar dongeng ala
piramida Bosnia yang berulang, atau memang suatu pengungkapan gemilang
tentang adanya suatu peradaban besar di Nusantara yang belum pernah
terungkap?
Sumber: vivanews.com
http://arkeologi.web.id/articles/arkeologi-prasejarah/1610-berburu-piramida-nusantara
Belum Pernah Menang Dalam Bermain Poker Online ???
BalasPadamAtau Ingin Mendapatkan Penghasilan Tambahan Dengan Modal Yang Sangat Minim???
Segera Daftarkan ID Anda di SmsQQ Yang MerupakanAgen Judi Online Terpercaya
Solusi Yang Tepat Hanya di www(.)SmsQQ(.)com
Kelebihan dari Agen Judi Online SmsQQ :
- Tidak ada settingan apapun dalam permainannya 1000%
- Minimal Deposit Hanya Rp.10.000
- Proses Setor dan Tarik Dana akan di selesaikan dengan cepat,tepat dan akurat.Hanya memerlukan waktu 1-2 menit (Jika Tidak Ada Gangguan)
- Kebanjiran Bonus disetiap Harinya
- Bonus Turnover 0.3%-0.5%
- Bonus Refferal 20% (Seumur Hidup)
-Customer Service bersedia melayani Anda Selama 24 jam dengan pelayanan yang begitu sopan dan ramah.
- Berkerja sama dengan 4 bank lokal : BCA-MANDIRI-BNI-BRI
7 Permainan Dalam 1 ID :
Poker - BandarQ - DominoQQ - Capsa Susun - AduQ - Sakong - Bandar Poker
Untuk Info Lebih Lanjut Dapat menghubungi Kami Di :
BBM: 2AD05265
WA: +855968010699
Skype: smsqqcom@gmail.com
Tunggu Apa Lagi Bosku ?